Senin, 27 April 2009

Detikcom - Selasa, April 28

Virus strain baru flu babi (swine flu) memang bisa mematikan. Apalagi virus strain baru bisa menyebar dengan cepat. Sebabnya, tak seorang pun punya kekebalan alami terhadap virus baru ini. Dan butuh waktu beberapa bulan untuk mengembangkan vaksinasi virus ini.

Namun setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit flu babi yang ditularkan dari orang ke orang ini. Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memberikan beberapa tips.

Tutupi hidung dan mulut Anda dengan tisu jika Anda batuk atau bersin. Kemudian buang tisu itu ke kotak sampah.

Sering-seringlah mencuci tangan Anda dengan air bersih dan sabun, terutama setelah Anda batuk atau bersin. Pembersih tangan berbasis alkohol juga efektif digunakan.

Jangan menyentuh mulut, hidung atau mulut Anda dengan tangan.

Hindari kontak atau berdekatan dengan orang yang sakit flu. Sebab influenza umumnya menyebar lewat orang ke orang melalui batuk atau bersin penderita.

Jika Anda sakit flu, CDC menyarankan Anda untuk tidak masuk kerja atau sekolah dan beristirahat di rumah.

Di Meksiko, negara yang paling parah dilanda wabah flu babi ini, pemerintah negeri itu mengeluarkan imbauan bagi warganya untuk tidak berciuman, meski hanya cium pipi. Demikian seperti dilansir CNN, Senin (27/4/2009).

Pemerintah Meksiko juga mengimbau untuk tidak berada di antara kerumunan orang banyak serta tidak berdekatan dengan orang lain yang sakit. Penggunaan masker juga digalakkan di negeri itu.

Sejauh ini setidaknya 81 orang telah meninggal akibat wabah flu babi di Meksiko. Lebih dari seribu orang lainnya terkena penyakit ini.

See also:

http://www.dhammacakka.org/

http://www.samaggi-phala.or.id/

Jumat, 17 April 2009

Manusia

Manusia Memiliki Lebih Banyak Keinginan

Manusia lebih egois kala menyangkut hasrat nafsunya dibandingkan dengan mahluk lainnya. Mereka menikmati hidup keduniawian, mereka memasrahkan diri pada kenikmatan nafsu tanpa memikirkan kesejah-teraan lainnya. Orang dengan hawa nafsu ingin hidup lebih lama untuk menikmati kesenangan. Mereka memiliki hasrat tinggi terhadap kepemilikan dan menumpuk harta kekayaan, mereka takut meninggal karena tidak ingin berpisah dengan harta miliknya.
Makhluk hidup lainnya tidak memiliki pikiran egois yang berpusat pada penumpukan materi dan bergantung padanya. Mereka menggunakan kelima indera hanya untuk keselamatan hidup dan menjalani hidup alamiah tanpa dengan sengaja mencurangi lainnya. Bahkan dikatakan hanya manusia yang menumpuk lebih banyak dari yang mampu ia habiskan. Hewan lain hanya mengambil sebanyak yang mereka butuhkan. Apa yang mereka tidak butuhkan mereka tinggalkan untuk yang lain.
‘Kekayaan bak air laut; semakin banyak diminum. Semakin haus dibuatnya; hal ini juga berlaku untuk ketenaran.’
(Arthur Schopenhauer)


Khayalan Kita Juga Menimbulkan Masalah

Sebenarnya kita menderita karena masalah kita, karena mereka buah ilusi dan khayalan kita. Dengan mengikuti saran Sang Buddha kita dapat memberantas kelemahan kita. Kita tidak menggunakan kepandaian kita kala berhubungan dengan kepercayaan akan takhyul. Kita harus berusaha menyingkirkannya dengan menguatkan pikiran kita dan mengembangkan rasa percaya diri. Maka kita dapat menanggulangi banyak masalah kita dan dalam banyak kasus masalah, khayalan kita akan menghilang dengan sendirinya.
Beberapa agama mencoba melarikan diri dari kenyataan dengan mengatakan bahwa dewa-dewa yang menyebabkan semua hal baik yang diterimanya dan kala mereka ditimpa musibah, setanlah yang disalahkan. Bagi pemeluk agama Buddha kepercayaan semacam ini tidak memiliki arti.
Kebanyakkan manusia tidak mencoba memahami mengapa kita tidak bahagia dan kenapa kita tidak puas dengan hidup kita, dan siapa yang bertanggung jawab atas keadaan ini. Selain semua masalah utama yang kita perbuat, kita juga menciptakan masalah dalam tingkatan sosial seperti perbedaan ras, tradisi, agama, dan masalah ekonomi yang membedakan manusia.
Kondisi yang ditimbulkan dari kemerosotan manusia adalah erosi rembesan dari standar moral dan keburukan manusia dengan pikiran yang tercemar. Manusia selalu membuat kesalahan: mereka mengingin-kan tujuan yang salah, menggunakan cara yang salah, dan memuja nilai yang salah. Ini hanya akan membuat mereka mengalami lebih banyak ketidakbahagiaan dan ketidakamanan yang tak dielakkan lagi memuncak pada perasaan bersalah, kekhawatiran, penyalahan diri sendiri dan kekecewaan. Mereka mencari pertolongan bagi masalah tersebut tentu saja. Tetapi mereka mencarinya di luar, tidak menyadari bahwa akar dan solusi semua permasalahan terletak dalam diri sendiri.


Kita Harus Mengetahui Tingkat Masalah Kita

Satu cara untuk mendapatkan ketenangan bagi penderitaan mental dan ketidakbahagiaan yang sering terjadi adalah dengan membandingkan penderitaan dan kesulitan kita dengan yang dialami oleh orang lain. Ketika kita merasa tidak bahagia kita merasa seisi dunia meninggalkan kita. Kita merasa sekeliling kita akan runtuh dan hanya kita yang akan mengalaminya. Kita merasa semua sudah berakhir. Namun jika kita mencoba berpikir rasional dan menilai situasi kita tanpa teralihkan dengan lainnya kita akan mulai menghitung berkah kita. Kita akan menyadari kalau kita jauh lebih baik dibandingkan dengan banyak orang. Merupakan latihan yang baik untuk mencatat semua kejadian baik dan kejadian buruk yang menimpa kita dalam buku kecil. Ketika kita membandingkan dua daftar tersebut kita akan mendapati bahwa hidup tidak selalu tidak adil.
Dengan kata lain, kita cenderung untuk membesar-besarkan masalah dan kesulitan kita. Walau banyak orang yang berada dalam kondisi lebih buruk dari kita, mereka sepertinya tidak menyesalinya. Masalah akan selalu ada dan satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menyelesaikannya daripada merasa khawatir dan menambah derita dan sakit mental.
Sebaliknya, kita harus menetapkan untuk menyele-saikan masalah atau pun hal lainnya yang mungkin kita hadapi. Kita harus menyadari bahwa kita telah melalui situasi yang lebih buruk sebelumnya dan kita menyiap-kan diri untuk menghadapi lainnya. Karena itulah kita menggunakan roda sebagai simbol.
Ketika roda bergerak, seperti hidup yang selalu bergerak, tidak ada hal yang pasti tetap untuk jangka waktu apa pun. Hal yang sama seperti hidup yang selalu berubah. Ingatlah selalu kalau ‘badai pasti berlalu’. Yang terjadi terjadilah, dengan bentuk pemikiran seperti ini kita akan dengan cepat mendapat rasa percaya diri dan dapat menghadapi serta menyelesaikan masalah apa pun yang menghadang kita.
Kita harus menyadari metode apa pun yang kita gunakan untuk menghadapi masalah kita, sangat tidak mungkin untuk meraih kepuasan penuh dalam hidup sampai kita melatih pikiran dan mengurangi keegoisan dan hasrat nafsu.
Ajaran Sang Buddha memberi kita pengertian yang jelas untuk mengerti dasar masalah manusia dan cara untuk menanggulanginya. Sang Buddha berkata, dunia ini ditempatkan dalam ‘dukkha’ atau konflik. Di sini dunia berarti semua gejala termasuk tubuh fisik kita. Jika dunia seperti ini bagaimana kita bisa mengharapkan kepuasan penuh selama kita hidup? Jadi dengan memahami ini kita harus berusaha mempertahankan kedamaian dalam pikiran sebagaimana memahami manusia.


Andalah Yang Menciptakan
Surga dan Neraka di Dunia

“Jika anda ingin hidup dengan damai dan bahagia di dunia ini, maka biarkan orang lain hidup dengan damai dan bahagia, sehingga Anda dapat membuat dunia ini menjadi suatu kehidupan yang berharga.”
Jika tidak, anda tidak akan dapat mengharapkan kedamaian dan kebahagiaan di dunia ini. Kedamaian dan kebahagiaan surgawi tidak dapat diperoleh dengan hanya berdoa atau bersembahyang saja.
Jika anda berbuat menurut prinsip-prinsip moral, maka anda akan menciptakan surga di sini, di dunia ini, bagi anda sendiri. Jika tidak, maka anda dapat melihat api neraka di dunia ini juga. Karena tidak mengerti bagaimana hidup menurut hukum alam dan semesta, maka sewajarnyalah kalau kita selalu mengeluh ketika kesulitan menghadang kita. Jika setiap orang mencoba untuk mengatur dirinya tanpa menggerutu dan mengkritik orang lain, maka kita dapat menikmati berkah surga yang nyata dan lebih baik daripada surga yang diimpikan oleh sebagian besar orang sebagai surga yang dianggap jauh di dalam alam baka.
Kita dapat memiliki teladan yang sangat mulia ini untuk kebaikan masyarakat dan negara dengan menganut toleransi dan simpati bagi kemajuan dan kebahagiaan orang lain. Kita telah mengalami kemajuan sepesat ini sebagai umat manusia karena orang-orang termasyhur telah menunjukkan caranya. Dengan menjalani hidup bermoral, anda telah membantu diri anda sendiri dan orang lain. Sepertinya manusia sekarang bukanlah apa yang ia perbuat melainkan apa yang tidak ia lakukan.

‘Planet ini adalah suaka gila di alam semesta di mana orang mengatasnamakan agama, politik, tradisi, adat, ras dan cara hidup untuk mencoba mendiskriminasi lainnya dan menciptakan kekejaman.’

Selasa, 10 Maret 2009

Culapanthaka Thera

CULAPANTHAKA THERA

“Dengan berusaha sendiri waspada …”
Dhamma-desana ini dibabarkan oleh Sang Buddha ketika beliau berada di Veluvana berkenaan dengan Culapanthakathera.

a. Culapanthaka Lahir

Tersebutlah bahwa seorang pedagang kaya di Rajagaha mempunyai seorang puteri, ketika puteri ini mencapai kedewasaan, ayah dan ibunya menempat-kannya di kamar lantai ketujuh dari rumah mereka dan menjaganya dengan ketat sekali. Tetapi walaupun demikian, karena dorongan masa remaja serta merindukan adanya lain jenis, maka akibatnya ia mengadakan hubungan badaniah dengan budak pembatunya. Karena ketakutan memikirkan bahwa orang lain akan mengetahui perbuatan salahnya, lalu ia berkata kepada pembantunya: “Adalah berbahaya sekali bagi kita untuk tetap berada lama-lama di sini. Bilamana ayah dan ibuku mengetahui perbuatan salahku ini, mereka akan mencabik cabik diriku. Marilah kita pergi ke mana saja.

Demikianlah mereka mengambil beberapa barang yang dapat dibawa dengan tangan, lalu mereka mening-galkan rumah.
“Bukan soal ke mana pun kita pergi asalkan selama kita pergi dan hidup di tempat dimana orang tidak mengetahui kita,” kata mereka.
Setelah berkata demikian, lalu mereka pergi bersama. Mereka menempati satu tempat tertentu dan hidup bersama, akhirnya isteri muda ini hamil. Ketika ia mendekati masa melahirkan, ia berunding dengan sua-minya: “Bila saya melahirkan anak jauh dari sanak saudara, maka kita berdua akan menderita. Hanya ada satu tempat bagi kita untuk didatangi, yaitu rumah orang tuaku.”
Tetapi suaminya ketakutan, sebab bila ia sendiri ikut ke sana, ia akan dibunuh, maka ia menunda-nunda hari keberangkatan mereka dengan berkata: “Kita akan pergi hari ini, akan pergi besok dan sebagainya.”

Isterinya berpikir: “Orang bodoh ini menyadari kejahatan yang dilakukannya, maka ia tidak berani pergi. Bagaimana pun ayah dan ibu adalah sahabat yang paling baik. Apakah ia mau pergi atau tidak, saya tetap berniat untuk pergi.”
Demikianlah ketika suaminya tidak ada di rumah, ia membenahi perabot-perabot rumah dan memberita-hukan kepada tetangga bahwa ia mau pergi ke rumah orang tuanya, lalu ia berangkat. Ketika suaminya kembali dan tidak melihatnya, ia bertanya kepada tetangga, ke manakah isterinya. Mendengar bahwa istrinya pergi ke rumah orang tuanya, ia berusaha dengan secepat mungkin mengejarnya dan menjum-painya di jalan. Pada tempat dan saat itulah isterinya melahirkan anak.
“Isteriku, anak apakah dia?” Tanya suaminya.
“Suamiku, anak laki-laki.”
“Apakah yang harus kita lakukan sekarang?”
“Apa yang menjadi tujuanku ke rumah orang tuaku telah terjadi di jalan. Jadi mengapa kita mesti ke sana? Marilah kita kembali ke rumah.”

Memutuskan hal ini sebagai cara terbaik, mereka berdua kembali ke rumah mereka. Karena anak mereka lahir di jalan (pantha), maka mereka menamakannya Panthaka. Tidak berapa lama kemudian wanita itu hamil lagi. (Kejadian berlangsung sama seperti tersebut di atas). Karena anak kedua ini lahir di jalan pula, maka mereka menamakannya ‘Culapanthaka’, dan memanggil anak mereka yang sulung ‘Mahapanthaka’. Dengan membawa ke dua anak mereka ini, mereka kembali ke tempat tinggal mereka.

Sementara mereka di situ, Mahapanthaka mendengar anak-anak lain menceritakan tentang paman-paman dan nenek mereka. Maka pada suatu hari ia bertanya kepada ibutnya: “Ibu, anak-anak lain menceritakan tentang nenek dan kakek mereka. Apakah kita tidak mempunyai sanak saudara?”
“Ya, anakku. Kau tidak mempunyai sanak sauda-ra yang berada di sini, tetapi kau mempunyai kakek, pedagang kaya di Rajagaha, dan kita mempunyai sanak keluarga juga di sana.”
“Ibu, mengapa kita tidak pergi ke sana?”
Sang ibu tidak menceritakan kepada anaknya mengapa dia tidak pergi ke sana. Tetapi anak ini selalu mengulangi pertanyaan tersebut. Akhirnya ibunya berkata kepada suaminya: “Anak-anak ini sangat mengganggu saya. Apakah ayah dan ibuku akan menelan kita hidup-hidup bila mereka melihat kita? Mengapa kita tidak mengijinkan anak-anak melihat keluarga-keluarga seperti nenek mereka?”
“Saya tidak berani bertemu dengan mereka, tetapi saya akan mengantar kamu ke sana dengan sanak keluarga mereka.”
Demikianlah ayah dan ibu tersebut membawa anak-anak mereka dan tiba di Rajagaha, mereka menginap di sebuah rumah dari seorang wanita, yang terletak di dekat gerbang kota. Kemudian ibu anak-anak ini mengirimkan berita kepada ayah dan ibunya, bahwa dia beserta anak-anaknya telah tiba. Ketika orang tuanya menerima berita tersebut, mereka saling berkata: “Karena kita telah melalui lingkaran kehidupan (bhavaccakka) dahulu kita tidak mempunyai putra atau putri. Tetapi mereka berdua itu telah melakukan pelanggaran besar terhadap kita, dan itulah sebabnya maka mereka tidak berani menemui kita. Biarlah mereka mengambil uang sebanyak-banyak mereka butuhkan dan pergi serta hidup di tempat yang mereka sukai. Tetapi biarlah mereka mengirimkan anak-anak ke sini. Jadi mereka berdua menerima uang yang dikirimkan kepada mereka dan memberikan kedua anak itu kepada pesuruh, mengirimkan anak-anak tersebut kepada nenek mereka. Demikianlah yang terjadi sehingga anak-anak tersebut dibesarkan di rumah nenek mereka.

Dari kedua anak tersebut, Cula Panthaka terlalu kecil, sehingga hanya Maha Pantahaka yang biasanya menyertai kakeknya pergi mendengarkan Dhamma dari Sang Pemilik Dasabala (Sepuluh kekuatan) Sang Buddha. Karena ia sering mendengar dhamma dari Sang Guru, akibatnya ia berkeinginan untuk meninggalkan kehidupan duniawi (pabbajja). Maka ia berkata kepada kakeknya: “Bila kakek memberikan ijin, saya mau pabbajja”.
“Apa yang kau katakan cucuku? Tidak ada seorangpun di dunia ini dapat memberikan kesenangan kepadaku, bila seseorang itu mau ‘pabbajja’, seperti apa yang kau mau lakukan. Bilamana kau dapat berbuat demikian, berusahalah untuk meninggalkan keduniawian ini!”

b. Cula Panthaka menjadi bhikkhu

Selanjutnya kakek membawa Maha Panthaka kepada Sang Guru, dan Sang Guru berkata: “Upasaka, kau telah mendapatkan seorang anak laki-laki?”
“Ya, bhante, dia ini adalah cucuku ingin menjadi bhikkhu dibawah bimbinganmu.”
Sang Guru menyuruh seorang bhikkhu yang baru kembali dari pindapata untuk menerima anak tersebut menjadi anggota sangha. Kemudian Sang Thera menun-jukkan ‘pokok meditasi’ tentang lima hal dari bagian-bagian tubuh, lalu menerimanya menjadi anggota sangha. Bhikkhu baru ini menghafal bagian tertentu dari ajaran Sang Buddha, melaksanakan masa Vassa, berusaha sungguh-sungguh dan dengan tepat melak-sanakan apa yang patut dilakukan (yonisomanasikara) dalam meditasi, akhirnya menjadi Arahat (tetapi tanpa memiliki kekuatan batin).
Selagi Maha Panthaka menggunakan waktunya menikmati kebahagiaan dalam meditasi dan kebahagia-an Magga dan Phala, lalu ia berpikir: “Sesungguhnya, Cula Panthaka pun mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kebahagiaan ini.”
Kemudian ia pergi menemui kakeknya, dan berkata kepadanya: “Maha Setthi (Hartawan Kaya), jikalau kau memberikan ijin kepada Cula Panthaka, saya bersedia menerimanya menjadi bhikkhu.”
“Baiklah, terimalah dia dalam Sangha, bhante.”
Dikatakan bahwa hartawan ini sangat taat dan patuh sekali dalam agama Buddha, jadi bila ia ditanyai orang: “Kedua anak ini adalah anak dari puterimu yang mana? Ia merasa malu untuk mengatakan, ‘Dari anak wanitaku yang lari’, maka berdasarkan pada kedua hal ini pula maka ia merasa gembira sekali dan memberikan ijin untuk mereka di upasampadakan (ditahbiskan) menjadi bhikkhu.

Demikianlah, Maha Panthaka menerima adiknya Cula Panthaka menjadi bhikkhu dan menyuruhnya melaksanakan vinaya (sila). Tetapi sejak Cula Panthaka menjadi bhikkhu, ternyata ia amat bodoh, Karena selama empat bulan ia tidak dapat menghafalkan walaupun hanya satu gatha (ayat) seperti ini:

“Bagaikan teratai merah, harum semerbak,
Nampak mekar pada pagi hari penuh dengan keharuman
Lihatlah kepada Sang Buddha,
Bercahaya bagaikan sinar matahari di angkasa.”

“Mengapa ia tidak dapat menghafalkannya?” Dikatakan bahwa pada masa Buddha Kassapa, ia memiliki kebijaksanaan (panna) yang cukup tinggi tetapi setelah ia memasuki sangha, ia mencemohkan dan menertawakan seorang bhikkhu yang bodoh, ketika bhikkhu tersebut berusaha mempelajari Dhamma, akibatnya bhikkhu tersebut karena merasa malu ditertawakan, maka ia tidak dapat menghafalkan kata-kata dhamma itu atau mengulanginya. Sebagai akibat dari perbuatan ini Cula Panthaka dilahirkan sebagai orang bodoh, bila satu kalimat yang dihafalkan diikuti oleh kalimat kedua, maka ia akan lupa kalimat yang pertama tadi, demikianlah empat bulan telah berlalu, ia tidak dapat menghafal ayat tersebut di atas.
Maka Maha Panthaka berkata kepada adiknya: “Cula Pantaka, kau tidak sanggup mempelajari sasana ini. Selama empat bulan kau tidak dapat mempelajari satu ayat pun. Bagaimanakah kau dapat mengharapkan untuk mencapai tujuan dari hidup kebhikkhuan ini? Sebaiknya kau pergi dari vihara ini.”
Dengan berkata demikian ia menyuruh adiknya keluar dari Sangha. Karena Cula Panthaka mencintai Buddha sasana maka ia merasa sedih untuk kembali ke masyarakat.

Pada hari itu Jivaka Komarabbacca dengan mem-bawa bunga-bungaan dan bermacam dupa pergi ke Ambavana (Vihara) memberi hormat kepada Sang Buddha, mendengarkan dhamma, bangkit dari duduk-nya serta menghormati Sang Guru pergi menemui Maha Panthaka dan bertanya kepadanya:
“Bhante, ada berapa banyak bhikkhu yang bersama-sama dengan Sang Guru?”
“Limaratus.”
“Bhante, besok bawalah limaratus bhikkhu dengan dikepalai oleh Sang Buddha untuk makan di rumahku.”
“Upasaka, Cula Panthaka bodoh dan tidak maju sama sekali dalam dhamma, Saya menerima undangan ini untuk semua kecuali dia.”

Ketika Cula Panthaka mendengarnya, ia berpikir: “Thera menerima undangan untuk semua bhikkhu, tetapi menerimanya dengan mengecualikan saya. Tidak diragukan lagi cinta kasih kakakku kepadaku telah lenyap. Untuk apa aku tetap dalam sasana ini? Saya akan kembali menjadi orang biasa dan menghabiskan masa hidupku dengan memberikan dana serta melakukan perbuatan-perbuatan punna (jasa) yang lain.”
Maka pada keesokan harinya pada waktu subuh ia keluar dengan kehendak untuk melepaskan jubah (menjadi orang biasa). Pada pagi hari itu pula Sang Guru melihat dunia, dan melihat kejadian di atas. Beliau mendahului Cula Panthaka tiba di gerbang vihara dan berjalan bolak balik di jalan yang akan dilalui oleh Cula Panthaka.

Cula Panthaka datang, ia melihat Sang Guru, mendekati Beliau dan menghormatinya. Sang Guru berkata: “Cula Panthaka, ke manakah kau akan pergi pada hari sepagi ini?”
“Bhante, kakakku mengusirku dari sangha, maka saya bermaksud untuk kembali ke masyarakat.”
“Cula Panthaka, ditanganku kau diterima menjadi bhikkhu. Maka bilamana kakakmu mengusirmu, menga-pa kau tidak datang kepadaku? Marilah, apakah yang akan kau lakukan sebagai umat biasa? Engkau sebaiknya tinggal bersamaku.”
Setelah berkata begitu Sang Buddha mengusap kepalanya dengan telapak tangan yang mempunyai tanda cakka, membawanya pergi dan duduk di depan Gandhakuti (nama tempat kediaman Sang Buddha). Menyiapkan sehelai kain putih yang bersih sekali dengan kekuatan batin, beliau memberikan kain tersebut kepadanya, dengan berkata: “Cula Panthaka, tetaplah berada di sini, menghadaplah ke Timur, gosoklah kain ini, dan sementara kau melakukannya kau pengucapkan “Rajo haranam, rajo haranam! (bersih dari kekotoran)”.
Pada saat itu, waktu (untuk pergi pindapata) diberitahukan, maka Sang Guru disertai oleh bhikkhu Sangha pergi ke rumah Jivaka dan duduk di tempat yang telah disediakan.

Sementara itu Cula Panthaka duduk menghadap ke timur, mengosok-gosok kain dengan berkata:
“Rajo haranam, rajo haranam!”
Selagi ia menggosok kain, kain itu menjadi kotor. Maka ia berpikir, “Sebelumnya kain ini amat bersih. Tetapi karena tubuhku ini, kain ini telah kehilangan warna aslinya dan menjadi kotor. Sungguh, segala sesuatu tidak kekal!”
Pikirnya menyadari tentang kelapukan dan kematian (jara-marana), ia mengembangkan vipassana (meditasi pandangan terang, bertujuan untuk melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya). Sang Buddha mengetahui Cula Panthaka sedang melaksanakan vipas-sana, lalu berkata: “Cula Panthaka, janganlah berpikir bahwa hanya sehelai kain saja yang menjadi kotor dan diliputi oleh tidak adanya keindahan. Tetapi sesungguhnya kamu juga diliputi oleh nafsu, dan kotoran-kotoran batin lainnya, lenyapkanlah mereka!”
Lalu Beliau mengirimkan bayangannya sendiri yang bercahaya-cahaya, Sang Guru duduk di depannya dalam bentuk tubuh seperti yang sesungguhnya dan mengucapkan gatha (ayat) ini:

“Nafsu adalah noda, dan arti yang tepat dari kata “kekotoran batin”, Jadi batin yang kotor adalah arti yang tepat dari nafsu (raga). Para bhikkhu harus membebaskan diri mereka dari kekotoran batin. Dan hidup sesuai dengan Sasana (agama) dari Dia yang telah melenyapkan kekotoran batin.”

“Kebencian adalah noda, dan arti yang tepat dari kata ‘kekotoran batin’, Jadi batin yang kotor adalah arti yang tepat dari kebencian. Para bhikkhu harus membebaskan diri mereka dari ‘kekotoran batin’, Dan hidup sesuai dengan Sasana (agama) dari Dia yang telah melenyapkan ‘kekotoran batin’.”

“Kebodohan adalah noda, dan arti yang tepat dari kata ‘kekotoran batin’', Jadi batin yang kotor adalah arti yang tepat dari kebodohan (moha). Para bhikkhu harus membebaskan diri mereka dari ‘kekotoran batin’, Dan hidup sesuai dengan Sasana (agama) dari Dia yang telah melenyapkan kekotoran batin’.”

Setelah ayat-ayat in diucapkan, Cula Panthaka mencapai kearahatan, dan memiliki patisambhida (kesanggupan untuk mengerti dan mengetahui dhamma serta mengajarkan) serta pengetahuan tentang Tipitaka.

Disebutkan bahwa pada kehidupan yang lampau ia adalah seorang raja. Pada suatu hari selagi melaksanakan upacara mengelilingi kota, dahinya bermandikan keringat, ia menggosok dahinya itu dengan kain bersih, akibatnya kain tersebut menjadi kotor, “Sesungguhnya, segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal!” “Demikianlah ia mendapat pengertian tentang 'ketidakkekalan' (anicca). Akibat dari hal ini, maka pada kehidupannya sekarang dengan ‘melenyap-kan kekotoran batin’ ia mencapai kebebasan.

Jivaka Komarabbhacca mengucurkan ‘air pem-berian dana’ (dakkhinodana) ke tangan ‘Pemilik Dasabala’ (sepuluh kekuatan). Sang Guru menutupi patta (mangkok) beliau dan bertanya: “Jivaka, apakah di vihara tidak ada bhikkhu lagi?”
Maha Panthaka menjawab: “Tidak ada, bhante, di sana tidak ada bhikkhu lagi.” Sang Guru berkata: “Tetapi, Jivaka di sana masih ada bhikkhu!”
“Baiklah”, jawab Jivaka, dan menyuruh orang untuk pergi memanggilnya dengan berkata: “Pergilah ke vihara dan lihat apakah masih ada bhikkhu atau tidak.”
Pada saat itu Cula Panthaka bergumam, “Kakakku berkata, di vihara tidak ada bhikkhu lagi, saya akan menunjukkan kepadanya bahwa di vihara ada banyak bhikkhu.”
Selanjutnya ia mengisi seluruh Ambavana vihara dengan para bhikkhu (yang dihasilkan oleh kekuatan batinnya). Di antara mereka ada yang sedang menjahit jubah, mewarnai jubah, dan yang lain sedang belajar dhamma. Demikianlah Cula Panthaka menciptakan seribu bhikkhu yang berlain-lain sikap mereka, dengan kekuatan batinnya. Maka ketika pesuruh melihat ada banyak bhikkhu, ia kembali dan memberitahukan kepa-da Jivaka: “Tuan, seluruh Ambavana dipenuhi oleh para bhikkhu.”
Sedangkan di sana Thera Berkata:

“Cula Panthaka, memperbanyak dirinya menjadi seribu, Duduk di Ambavana yang tenang, hingga ia dipanggil.

Sang Guru berkata kepada pesuruh: “Pergilah ke vihara dan berkata: “Guru memanggil Cula Panthaka.”
Pesuruh pergi, dan mengatakan apa yang Beliau sarankan. Tetapi suara jawaban terdengar dari seribu mulut: “Saya Cula Panthaka! Saya Cula Panthaka!”
Pesuruh kembali dan berkata: “Bhante, mereka semua berkata bahwa mereka adalah Cula Panthaka.”
Lalu Sang Guru berkata: “Baiklah, sekarang pergilah dan pegang tangan dari bhikkhu pertama yang berkata ‘Saya Culapanthaka’, dan yang lainnya akan lenyap.”
Pesuruh pergi dan berbuat demikian, segera seribu bhikkhu lain lenyap. Culapanthaka Thera pergi besama pesuruh yang datang memanggilnya.

Sehabis makan Sang Guru berkata kepada Jivaka: “Jivaka, ambil patta Culapanthaka, dan dia akan mengucapkan kata-kata anumodana untukmu.”
Jivaka mengambil pattanya. Lalu Cula Panthaka Thera bagaikan harimau muda mengaungkan aumnya, mengucapkan kata-kata anumodana (ucapan terima kasih dalam bentuk khotbah) yang mencakup seluruh Tipitaka. Sang Guru bangkit dari duduk dan dengan disertai oleh para bhikkhu kembali ke vihara. (selanjutnya beberapa saat kemudian) setelah siap memperhatikan ucapan Sang Guru, Beliau dengan menghadap ke arah Gandha Kuti, menasehati para bhikkhu dengan nasehat seorang Sugata, memberikan pokok-pokok samadhi, dan setelah para bhikkhu pergi, Beliau masuk ke Gandha Kuti, yang semerbak, tempat kediaman beliau yang harum, berbaring dengan sikap seperti harimau pada sisi kanan.

Pada sore hari para bhikkhu keluar dari kuti mereka dan berkumpul, bagaikan kumpulan kain berwarna kecoklat-cokklatan, duduk serta mulai memuji kebajikan Sang Guru.
“Avuso, Maha Panthaka tidak mengetahui kemampuan Cula Panthaka, dan berpikir, ‘selama empat bulan si tolol ini tidak dapat menghafal walaupun hanya satu ayat saja, mengusirnya dari vihara. Tetapi Samma Sambuddha sebagai Raja Kebenaran, hanya dengan waktu sepemakan nasi saja telah mengarahkannya menjadi arahat, bersamaan dengan mencapai kearahatan tersebut ia memiliki patisambhida dan menguasai Tipitaka. O, betapa besar kemampuan dari Buddha.

Pada saat itu Bhagava mengetahui apa yang sedang mereka percakapkan di ‘Ruangan Dhamma’ (Dhamma Sabhaya), lalu berpikir, “Adalah kewajibanku untuk menemui mereka sekarang.”
Segera Beliau bangkit dari buddhaseyyaya (tempat duduk Buddha), mengenakan civara (jubah) bawah dan atas, mengikat ikat pinggangnya dengan cepat, dan meletakkan Maha Sugata Pamsukula Civara (jubah) di bahunya yang bagaikan mantel kecoklat-coklatan. Keluar dari Gandha Kuti, berjalan bagaikan langkah gajah perkasa, dengan kemuliaan Buddha yang tidak ada bandingannya, dengan enam warna sinar Buddha memancar keluar dari tubuhnya yang bagaikan matahari baru terbit di puncak gunung Yugandhara, menembus ke dasar lautan yang dalam, beliau duduk di tengah-tengah para bhikkhu.

Pada saat Samma Sambuddha tiba, para bhikkhu menghentikan percakapan mereka, tempat itu menjadi sunyi. Sang Guru melihat para hadirin dengan hati penuh kelembutan dan kasih sayang (karuna) berkata: “Para hadirin sekalian, adalah sangat menyenangkan (sobhana) hati-Ku. Tidak ada tangan bergerak, tidak ada kaki bergerak, tidak ada suara terdengar, tidak ada bersin terdengar, semua bhikkhu menghormat dengan suatu penghormatan bagi Buddha, dikuasi oleh keagungan Sang Buddha, walaupun Saya akan duduk di sini selama satu kappa, para bhikkhu tetap tidak berbicara akan berusaha menahan mengucapkan sesuatu walaupun hanya untuk menggerakan bibir saja. Saya sendirilah yang memutuskan apakah tepat untuk mulai berbicara atau tidak, maka saya akan berbicara lebih dahulu.”
Selanjutnya dengan suara yang lembut, bagaikan Maha Brahma, Beliau bertanya kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah yang menjadi pokok pembicaraan kamu sekalian dengan duduk bersama-sama di sini? Apakah pokok pembicaraan yang tiba-tiba kamu sekalian hentikan?”
Setelah mereka menceritakannya, Beliau Berkata: “Bhikkhu, itu bukan yang pertama kali terbukti Cula Panthaka bodoh. Pada masa kehidupannya yang lampau pun ia bodoh. Ini bukan pertama kalinya saya menjadi pelindungnya. Pada kehidupannya yang lampau pun saya telah melindunginya. Tetapi pada kehidupan yang lampau, saya menjadikannya penguasa kekayaan duniawi, sekarang ini Saya menjadikannya penguasa kekayaan ‘lokuttara’ (di atas dunia). Para bhikkhu mau mendengar semua hal yang berkenaan dengan hal tersebut. Maka untuk menjawab permohonan mereka, Beliau menceritakan hal berikut ini.

Cerita yang lampau
c. Guru termasyur, pemuda dan Raja Varanasi

Pada suatu ketika seorang pemuda yang tinggal di kota Varanasi pergi ke Takkasila untuk belajar dan menjadi murid seorang guru terkenal. Di antara lima ratus murid, dialah yang paling rajin membantu guru mereka. Semua pekerjaan seperti memandikan atau mengurut kaki guru dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi ia amat bodoh sehingga ia tidak dapat mempelajari suatu pelajaran pun. Gurunya berpikir, “Pemuda ini sangat membantu dan rajin, saya akan mengajarkan ilmu kepadanya.”
Tetapi bagaimana pun ia telah mengusahakannya, ia tetap tidak dapat mengajar muridnya walaupun hanya satu pelajaran saja. Setelah lama tinggal di sana, pemuda ini belum dapat menghafal satu ayat pun dari pelajarannya, maka ia putus asa dan ingin pulang. Lalu ia minta ijin kepada gurunya.
Guru berpikir: “Pemuda ini adalah pelayanku yang paling setia, Saya mau menjadikannya orang yang terpelajar, tetapi hal ini tidak dapat saya laksanakan. Bagaimana pun saya mesti membalas jasa yang telah dilaksanakannya kepadaku. Saya akan membuat sebuah mantra dan memberikan itu kepadanya.
“Engkau mengasah! Engkau mengasah! Mengapa kau mengasah? Saya juga tahu!”
Mantra ini diajarkannya kepada pemuda tersebut dan menyuruhnya mengulang-ulangi mantra tersebut hingga beberapa ratus kali.
“Apakah kau mengetahuinya sekarang?” Tanya guru.
“Ya, saya tahu sekarang,“ Jawab pemuda itu.
“Bila seorang bodoh berusaha dengan sungguh-sungguh hingga dapat menghafal satu rangkaian kata-kata, maka itu sulit sekali dilupakannya,” pikir guru.
Lalu ia memberikan uang biaya perjalanannya dan menyuruh pemuda tersebut dengan berkata: “Pergilah sekarang dan jadikanlah mantra ini sebagai mata pencaharianmu. Tetapi supaya kau tidak melupakannya, maka ulang-ulangilah mengucapkan-nya.”
Ketika ia tiba di Varanasi, ibunya berguman, “Anakku kembali setelah ia belajar ilmu pengetahuan,” maka ia mengadakan pesta menyambut kedatangannya.

Pada waktu itu Raja Varanasi sedang melakukan perenungan untuk memeriksa pikiran, perkataan dan perbuatannya, apakah ia telah melakukan pelanggaran. Setahunya ia tidak melakukan pelanggaran atau pun kesalahan. Tetapi ia berpikir, “Seseorang tidak akan pernah menemui kesalahannya, harus orang lain yang mengatakannya. Saya akan mengelilingi kota untuk mendengar apa yang orang-orang percakapkan tentang diri saya. Bilamana para penduduk telah selesai makan malam dan sedang duduk bercengkerama, mereka mempercakapkan berbagai persoalan. Jikalau saya memerintah tidak adil, mereka akan berkata ‘kita dibebani dengan peraturan, pajak dan kewajiban-kewajiban lain dari raja yang kejam’. Tetapi bila saya memerintah dengan adil, mereka akan memuji sikapku yang baik, mengagung-agungkan diriku dengan berkata,
“Umur panjang bagi raja kita!”
Demikianlah, maka setelah matahari terbenam raja menyamar dan mengelilingi kota, berjalan dekat dinding rumah-rumah penduduk.

Pada saat itu beberapa pencuri sedang menggali terowongan (lubang) di antara dua buah rumah untuk memasuki dua rumah itu dengan menggunakan terowongan yang sama. Raja melihat mereka dan bersembunyi dibawah naungan bayangan rumah. Di rumah itu tinggal pemuda yang baru kembali dari Takkasila yang telah mempelajari mantra. Ketika pencuri telah menggali terowongan, mereka masuk ke dalam rumah dan mulai mencari barang. Pada saat itu pemuda tersebut bangun dan mulai mengucapkan mantranya: “Kau mengasah! Kau mengasah! Mengapa kau mengasah? Saya juga tahu!”
Pada saat para pencuri mendengar kata-kata tersebut, mereka berkata; “Orang ini mengetahui kita. Sekarang ia akan membunuh kita.”
Maka segera mereka membuang apa saja, termasuk pakaian yang telah mereka temukan, mereka melarikan diri dengan penuh ketakutan ke arah mana saja yang dapat mereka ikuti. Raja melihat mereka melarikan diri dan mendengar pemuda itu mengucapkan mantra, ia meneruskan perjalanannya dalam kota dan setelah itu ia kembali ke istana.

Ketika kegelapan malam mulai menghilang dan diganti oleh cahaya terang di waktu pagi, raja memanggil seorang pesuruh dan berkata kepadanya: “Pergilah ke jalan ‘anu’ dan tempat tertentu, di sebuah rumah ada terowongan yang digali kau akan menemukan seorang pemuda yang baru kembali dari Takkasila setelah mempelajari ilmu pengetahuan di sana. Bawalah ia kemari.”
Pesuruh pergi dan berkata kepada pemuda terse-but: “Raja memanggilmu.”
Ia mengantarnya kepada raja. Raja berkata kepadanya: “Kawan, apakah kau adalah pemuda yang baru kembali dari Takkasila setelah belajar berbagai ilmu?”
“Ya, maharaja.”
Berikanlah mantra itu kepadaku.”
“Baik, maharaja, duduklah bersamaku dan mem-pelajarinya.”
Raja duduk bersama-sama dengannya, belajar mantra dan kemudian berkata kepadanya: “Ini gajimu sebagai guru,” memberikan seribu kahapana kepadanya.

Pada waktu itu Panglima Perang berkata kepada barber raja: “Kapan kau akan mencukur janggut raja?”
“Besok atau lusa.”
Panglima Perang memberikan seribu kahapana kepada barber raja tersebut dan berkata: “Saya mempunyai satu tugas yang saya berikan kepadamu untuk dikerjakan.”
“Tugas apakah itu, tuan?”
“Berlakulah seperti akan mencukur janggut raja, tetapi kau harus mengasah pisau cukurmu sampai tajam sekali dan putuskanlah tenggorokannya. Sesudah itu kau akan menjadi panglima perang, sedangkan saya akan menjadi raja.”
“Bagus sekali”, jawab barber menyetujui rencana tersebut.

Pada hari barber harus mencukur janggut raja, ia membasahi janggut raja dengan air harum, mengasah pisau cukurnya dan mulai menggunakannya di pipi raja. Tetapi ternyata pisau cukurnya agak tumpul, dan ia menyadari pula bahwa untuk memutuskan tenggorokan raja harus dengan sekali sayatan saja, ia melangkah ke tepi dan mengasah pisau cukurnya. Pada saat itu raja teringat pada mantranya dan mulai mengulanginya: “Kau mengasah! Kau mengasah! Mengapa kau mengasah? Saya juga tahu! Saya tahu!”
Keringat dingin sebesar biji-biji jagung mengucur pada dahi barber.
“Raja mengetahui semua rencana ini”, pikirnya. Ia melepaskan pisau cukurnya ke tanah, dan dengan penuh ketakutan ia bernamaskara di kaki raja.
Ketika itu raja sudah mencurigai sesuatu, maka segera raja Varanasi berkata kepada barber: “Barber laknat, kau mengira bahwa saya tidak mengetahui hal itu.”
“Ampunilah jiwaku, maharaja,”
“Baiklah, jangan takut. Katakanlah padaku hal tersebut.”
“Maharaja, panglima perang memberikan seribu kahapana kepadaku dengan berkata, ‘berlakulah seperti akan mencukur janggut raja, tetapi putuskanlah tenggorokannya. Sesudah itu saya akan menjadi raja dan kau akan menjadi panglima perang’.
Raja berpikir, “Karena guru saya maka aku selamat.”
Ia memanggil panglima perang dan berkata kepadanya: “Panglima, apakah yang kau tidak terima dari saya? Sejak mulai saat ini saya tidak mau melihat wajahmu lagi, keluarlah dari kerajaanku.”
Dengan kata-kata ini raja mengusirnya dari kerajaan. Kemudian ia memanggil pemuda yang telah menjadi gurunya dan berkata: “Guru, karena kaulah maka saya selamat.”
Setelah berkata demikian, ia menganugerahkan penghargaan tertinggi dan mengangkatnya menjadi panglima perang tentaranya. Demikianlah cerita lampau.

“Pada masa itu, pemuda tersebut adalah Cula Panthaka, sedangkan guru termasyur itu adalah saya sendiri,” kata Sang Buddha. Maka setelah Sang Guru mengakhiri cerita yang lampau, beliau berkata: “Para bhikkhu, dalam kehidupan yang lampau pun Cula Panthaka bodoh, pada waktu itu saya menjadi pelindungnya dan menyebabkannya menjadi pemilik kekayaan duniawi.”
Pada suatu hari, para bihkkhu mulai dengan suatu percakapan, “Sang Guru benar-benar menjadi pelindung Cula Panthaka.” Maka untuk itu Sang Guru menceritakan cerita yang lampau, seperti apa yang terdapat dalam Cula Setthi Jataka.”

“Orang yang pandai dan bijaksana dapat mengangkat dirinya pada kedudukan yang tinggi di dunia ini, walaupun hanya dengan biaya yang kecil, seperti api kecil yang dapat ditiup menjadi besar.

Setelah mengucapkan gatha (ayat) ini Sang Guru berkata: “Para bhikkhu, ini bukan untuk yang pertama kali saya telah melindungi Cula Panthaka, dalam kehidupan yang lampau pun saya telah melindunginya. Tetapi dalam kehidupan yang lampau itu, saya menjadikannya penguasa kekayaan dunia ini, sedangkan sekarang saya menyebabkannya menguasai harta lokuttara. Pada masa itu (sesuai dengan cerita Cula Setthi Jataka) murid muda adalah Cula Panthaka dan pedagang muda adalah saya sendiri.”
Demikianlah beliau mengatakan pribadi-pribadi dalam Jataka.

Pada suatu hari para bhikkhu mulai bercakap-cakap pula di ruangan dhamma: “Avuso (saudara-saudara), selama empat bulan Cula Panthaka tidak dapat menghafal satu ayat yang terdiri dari empat baris, tetapi karena tidak melemahkan keinginannya (tetap bertekad), maka ia dapat menjadi Arahat dan menguasai harta ‘lokuttara’ (di atas duniawi)”.
Sang Guru datang dan bertanya: “Para bhikkhu apakah yang sedang kamu sekalian percakapkan dengan duduk di sini?”
Setelah mereka menceritakannya, lalu Beliau berkata: “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang mengusahakan semua kemampuan tekadnya sesuai dengan Sasana (ajaran)-Ku, ia tidak akan gagal untuk menguasai harta kekayaan ‘lokutara’. Sesudah berkata demikian Beliau mengucapkan gatha ini (seperti yang terdapat dalam Dhammapada):

25. “Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya sendiri yang tak dapat ditenggelamkan oleh banjir.”

Diambil dari Buddhist Legend dan Dhammapada Atthakatha